'cookieChoices = {};' Jendela sangkar duniaku - Moving forward

Header Ads

Jendela sangkar duniaku


Aku  sedang termenung sendirian, bosan dengan semua tindakan yang kulakukan setiap harinya, menunggu dimeja belajar , jenuh dengan semua buku yang pernah ku baca tersusun rapi dirak, aku tidak sekolah, tapi Ibu menginginkanku untuk menjadi orang yang pandai, Ibuku sangat protect padaku, ia tidak mempercayai pola pendidikan dinegri ini, ia tidak mempercayai yang namanya sekolah, ia lebih percaya jika menyewa orang-orang pandai untuk mengajariku didalam rumah itu adalah pendidikan yang paling baik, rumahkupun cukup besar selama kusadari umurku 16 tahun tinggal ditempat itu, segala fasilitas yang dIbutuhkan begitu tercukupi, didalam rumah terdapat taman bermain yang dapat dengan bebas digunakan untuk berlari-lari ketika aku masih kecil, teman-temankupun adalah anak-anak pilihan dan tidak semua orang bisa berteman denganku, aku memang tidak mengenal dunia luar, yang ku ingat selama hidupku, hanya tiga kali saja aku pergi menginjakkan kaki keluar dari rumah, itupun karena kehendak Ibuku, Ibuku melarang keras aku untuk keluar dari rumah, aku merasa menjadi seekor burung camar yang terkurung didalam sangkar penuh makanan.

Bagiku dunia luar yang kulihat hanyalah sekotak lukisan yang dapat berubah setiap harinya dalam kotak pandanganku yang hanya sebatas dunia kotak jendela, itulah dunia luar yang aku tahu selama ini, ketika aku jenuh, aku akan membuka jendela rumah yang berada dilantai dua rumahku, menikmati indahnya dunia luar yang begitu menarik untuk aku pandang, ingin rasanya aku untuk keluar dari sangkar ini, tapi aku begitu takut dengan perlakuan Ibuku yang begitu tegas kepadaku setiap harinya, aku tidak mengerti mengapa ia sebegitu protect menjagaku, aku tidak paham perlakuan kasih sayangnya yang berbentuk seperti itu, bahkan jika aku bandingkan dengan pengetahuan yang selama ini baca dalam buku, pendidikan yang digunakan Ibuku benar-benar salah, secara psikologi aku dikekang dan tidak diperbolehkan berhubungan sosial dengan banyak orang, terbukti ketika aku pandang orang-orang yang terlihat dipinggir jalan yang saat itu menengok kearah jendelaku, sekejap aku membalas pandangannya dengan senyuman tulus, tapi orang itu tidak membelas dengan senyuman seperti yang aku lakukan, bahkan orang itu pergi menunjukan wajah yang bagiku tidak menyenangkan. Aku sangat bingung antara buku yang kubaca dengan kenyataan yang terjadi, karena tidak semua buku yang telah ku baca itu dapat dIbuktikan secara mentah-mentah  dengan dunia luar yang sangat tidak kukenali.

Malam itu ketika kami berdua sedang makan malam, aku hanya terdiam memandangi makananku yang mulai dingin, “Kau kenapa An…..” Tanya Ibuku heran melihat aku yang terus diam, aku menengok perlahan wajah Ibuku yang terlihat begitu heran menunggu jawaban dariku, perlahan aku menjawab pertanyaannya “Aku ingin pergi keluar rumah bu” dengan cepat respon wajah Ibuku yang heran berubah menjadi sangat marah “Berapa kali Ibu bilang? Kau tidak Ibu bolehkan keluar rumah sebelum umurmu mencapai 20 tahun” Ibuku membalas dengan tegas “Tapi kenapa Ibu? Kenapa aku tidak diperbolehkan keluar? Aku ingin tahu dunia luar itu bukan dari buku saja, aku….” “CUKUP!!!!” bentakan Ibu memotong pembicaraanku, “Kau mulai menentang perintah Ibu ya?” katannya kepadaku, akupun menundukan kepala takut jika melihat  mata kemarahannya memandang kearahku,”Tidak bu Ani tidak berani” jawabku yang tak kusadari membuatku meneteskan air mata sambil menundukan kepala tak berani menatap matanya, Ibuku adalah satu-satunya orang yang menjadi temanku dirumah yang sangat besar itu, aku tidak ingin membuatnya sedikitpun terluka entah dengan luapan marah ataupun tangis yang ia rasakan.

Hal itu membuatku merasa penasaran untuk tahu apa yang menyebabkan Ibuku melarangku keluar dari rumah, aku berniat untuk mencari tahu penyebabnya melalui Diary harian Ibuku ketika masih muda. Saat itu Ibuku sedang keluar rumah, terlihat dari jendelaku Ibu yang didampingi oleh orang-orang berjas hitam rapi memasuki mobil warna hitam, entah apa pekerjaannya aku tidak pernah berani bertanya, seusai rumah benar-benar sepi aku menyusup kedalam kamar tidurnya, dengan hati-hati aku mencari catatan yang mungkin ia simpan didalam laci kamarnya, terlihat banyak buku motivasi yang tersusun rapi dalam laci, dengan susah payah membuka buku-buku tebal itu akhirnya aku menemukan catatan yang cukup tebal yang bertuliskan nama "aku" disampul depannya, aku kembali menyusun kembali semua buku dalam laci tersebut kemudian berlari kearah kamarku untuk segera membacanya, buku itu dituliskan oleh tangan Ibuku sendiri ketika masih menginjak Sekolah Menengah Keatas  banyak peristiwa yang menyenangkan yang kubaca ketika ketika berada disekolah, saat itu terdapat kenangan manis bersama dengan seorang kekasih yang dicintainya, menjadi murid berprestasi yang dipuja-puja banyak lelaki disekolahnya, menjadi bintang kelas yang mempunyai banyak teman. Namun kehidupan Ibuku ketika sangat muda tidak semewah yang ku rasakan, ia harus bekerja keras untuk menyambung sekolahnya sampai ia dapat meraih sukses hingga sekarang, ia harus bekerja sambil sekolah membantu orang tuanya menjual kue disetiap gang-gang rumah para penduduk desa, terkadang dalam catatannya banyak sekali hal-hal yang menyedihkan dalam hidupnya, menjadi idola sekolah namun dimusuhi oleh banyak orang, terkadang berjualan keliling kampung tidak mendapatkan hasil, dan mendapat isu bahwa makanan yang dijualnya terdapat racun.

Aku sangatlah tidak puas jika melihat dunia luar hanya sebatas membaca buku harian Ibuku saja, aku harus berusaha keluar dari rumah itu untuk membuktikan seberapa menariknya dunia luar yang Ibuku ceritakan dalam diarynya, tidak mungkin jika aku keluar melalui pintu rumahku, karena Ibuku pasti mengunci rumah kosong yang hanya dijaga seekor anjing  galak didepan pintu rumah, akupun berniat untuk keluar dari rumah melalui jendela duniaku, melalui kotak itulah aku melihat dunia dan melalui kotak itu pula aku akan pergi meninggalkan sarangku. Dengan susah payah aku berhasil keluar dan berjalan melewati genting-genting rumahku yang amat kokoh, berpindah antara genting rumahku dengan genting rumah orang lain yang akupun tidak mengenalnya, walau dia adalah tetangga rumahku, dan akhirnya akupun berhasil melompat jatuh ditaman tetangga yang saat itu sedang tidak ada satupun orang yang melihatku, akupun mulai berjalan menyusuri jalanan kampung itu, mencari tahu dimana sekolah yang memang menjadi tempat Ibuku mendapatkan kenangan indah yang belum pernah aku rasakan.

Dalam buku, orang Jepang menghormati orang lain dengan menundukan setengah badannya, aku mencoba melakukan hal itu kepada setiap orang yang ku temui, tapi tanggapan mereka terasa aneh dan banyak dari mereka tersenyum geli ketika melihatku, apa aku sebegitu aneh menghormati mereka dengan cara orang Jepang, akupun berhenti melakukan tindakan yang mungkin begitu bodoh bagi mereka, lalu aku harus bersikap apa kepada mereka? Kalau aku tersenyum mereka akan membalas senyumanku dengan wajah yang tidak enak seperti yang kulakukan diatas jendela duniaku, aku bingung dengan segala hal yang harus kulakukan, dari langkah-langkah kecilku, akhirnya aku mulai berjalan cepat dan setengah berlari melewati lorong-lorong kampung itu, terlihat banyak orang melihat aku begitu aneh entah apa yang aku lakukan, apakah karena aku berlari sedangkan orang lain sedang berjalan, apa karena langkah kakiku yang berbeda dengan orang lain yang membuat mereka memasangkan wajah heran kearahku yang bingung dengan tingkah mereka, akupun segera berhenti menghentikan langkahku, tanggapan mereka sama saja, ketika aku diam diam tidak melakukan apa-apa ditempat itu, aku mulai berjalan biasa mengikuti arus jalan orang-orang yang sedang berjalan itu dan memperhatikan respon orang-orang yang tadinya memandangku, ternyata mereka akan menganggapku biasa ketika aku berjalan biasa seperti orang-orang pada umumnya.

Tanpa ku sadari aku sampai pada sekolah swasta Jaya Baya, sekolah itu adalah sekolah yang pernah Ibuku tempati, tapi sekarang yang terlihat disekolah itu hanya nama sekolah yang telah hangus terbakar sekitar  17 tahun yang lalu bangunan itu terlihat tidak tersentuh lagi dan hanya menjadi sekolah yang tak dikenal, akupun dengan berani masuk kedalam ruang-ruang kelas disekolah itu mencocokan dengan isi diary yang Ibuku tulis, aku benar-benar bisa merasakan dan membayangkan suka duka yang Ibu rasakan, sampai dimana aku membaca halaman yang hamper selesai pada diarynya ketika ia berumur 17 tahun, suatu kejadian yang sangat mengagetkan aku yang membacanya, hal yang mengenaskan ketika diruangan laboraturium sekolah itu terjadi suatu pelecehan sexsual yang dilakukan oleh anak-anak sebayanya , tulisan rapi yang bisaanya ditulis oleh Ibuku menjadi tulisan yang sangat berantakan, entah apa yang dirasakan Ibuku setelah kejadian yang menimpanya saat itu, tulisannya berangsur-angsur berubah menjadi coretan kasar dihalaman selanjutnya, sampai ketiga halaman selanjutnya hanya terdapat coretan-coretan yang tidak karuan akan kemarahan Ibuku saat itu, terlihat dari keadaan yang Ibu rasakan saat itu,ia tidak mau menulis lagi diarynya dan Ibu akhirnya bercerita melalui halaman terakhir pada buku itu dengan tulisan

“Dia adalah seorang bajingan, aku mencintainya dengan tulus, tapi ia membalasnya dengan perbuatan keji kepadaku, bahkan ia mengajak teman-temannya untuk melakukan hal itu, aku benar-benar marah kepadanya,kepada teman-temannya dan kepada diriku sendiri yang begitu bodohnya terperdaya olehnya, tadinya aku yang ingin membunuh diriku sendiri dengan meneguk zat kimia yang ada dalam laboraturium itu, aku merasa menjadi mahluk yang paling hina dilecehkan oleh orang-orang itu, aku tahu aku tidak berfikir panjang saat itu, tapi apa pentingnya mereka sehingga aku harus mati karenanya, aku mengurungkan niatku dan aku ingin melanjutkan hidup dan menghapus kenangan tragis yang ku rasakan ditempat itu, aku menghapus tempat itu dengan membakarnya agar aku tidak mungkin bisa melihat tempat itu lagi”

Kata-kata terakhir pada buku itu membuat tubuhku merasakan guncangan yang sangat hebat, aku bangun dari tempat dudukku dengan berjalan sempoyongan keluar dari ruang laboraturium, akupun merasakan ngeri yang luar bisaa akan tempat itu, perasaan itu berubah seketika dan akupun berniat untuk segera pulang dan tak ingin kembali ketempat itu, saat aku keluar , aku melihat sebuah sepeda entah milik siapa berada diluar sekolah itu, tanpa berfikir panjang, aku memakainya menggunakannya tanpa perduli pemiliknya agar diriku bisa cepat sampai dirumah, tak lama setelah itu teriakan orang terdengan dibelakangku “Maliiiiiiiiiing……” orang itu berteriak menunjukan jari telunjuknya kearahku, akupun semakin cepat mengayuhkan sepeda yang ku naiki, semakin cepat aku mengayuh, semakin cepat pula orang tadi mengejarku berboncengan dengan temannya sambil berteriak-teriak menuduhku, walau akupun bingung dengan maksud mereka, aku tak sempat berfikir sebab apa mereka menuduhku, kayuhan sepedaku begitu cepatpun membuatku terjatuh, karena sudah lima tahun aku tidak lagi menaiki sepeda ditaman dalam rumahku yang membuatku kikuk dalam mengayuhnya, sebelum mereka sampai mengejarku aku lebih duluan bangun dan naik kembali diatas sepeda itu dan mengayuh sekencang-kencangnya, ada beberapa orang didepanku yang ikut berusaha untuk menangkapku, dan mengejarku, namun aku terus dapat menghindar dari tangkapan mereka.

Hingga sampailah pada gang terakhir, gang itu adalah gang menunju rumahku, aku harus sampai digerbang rumah itu, akupun berhenti ketika sampai, membanting sepeda yang kunaiki dan segera memanjat dinding beton disamping gerbang, tidak dengan mudah aku mencapai atas tapi aku berhasil sampai atas dengan susah payah, berbondong-bondong orang yang mengejarku berhenti melihat rumahku, terlihat wajah mereka takut untuk mendekat lebih dari satu meter didekat rumahku, entah apa yang mereka takutkan, aku tak perduli karena aku ingin segera sampai dikamarku, pintu rumahkupun sudah terbuka Ibuku sudah masuk kedalam rumah, pertama-tama aku ingin mengembalikan buku hariannya ketempatnya semula, saat aku buka pintu kamarnya, terlihat Ibu sedang berbaring nyenyak ditempat tidurnya, aku akan mengembalikan buku ini dan tidak pernah membahasnya lagi, kemudian “Jika kau sudah puas melihat-lihat dunia luar,  segeralah mandi dan pergi tidur” suruh Ibuku yang berkata tanpa memandangku.

Cerita ini diangkat dari sebuah mimpi

Tidak ada komentar